Senin, 26 Januari 2009

BONOKELING

ISLAM BLANGKON
(Studi Etnografis Karakteristik Keberagamaan Masyarakat
Kabupaten Banyumas dan Cilacap)



Abstrak
Fokus pembahasan artikel ini adalah kekhasan hasil perpaduan antara Islam dan
budaya setempat. Secara umum, pertemuan antara Islam dengan budaya lokal
selalu menghasilkan Islam sinkretis, yang sering juga disebut sebagai Islam
Abangan, namun komunitas di wilayah Cilacap dan Banyumas yang merupakan
penganut Islam lokal ini mempunyai kekhasan mereka sendiri, salah satunya
adalah penggunaan atribut tutup kepala tradisional yang disebut blangkon. Dari
istilah inilah, komunitas tersebut kemudian dikenal sebagai kelompok "Islam,
Blangkon". Masyarakat komunitas Islam Blangkon dalam artikel ini ditelaah secara
etnografis dengan mengambil setting tempat di beberapa wilayah di kabupaten
Banyumas dan Cilacap, tempat komunitas Islam Blangkon ini berada. Secara garis
besar, tulisan ini akan menelusuri 1) sejarah dan jalur geneologis Islam Blangkon,
2) sistem keyakinan yang mereka anut, 3) karakteristik ekspresi keagamaan yang
penuh bahasa simbolik, 4) jaringan penganut kelompok ini, dan 5) mengungkap
karakteristik relasi sosial baik inter maupun antar anggota aliran ini.

A. Pendahuluan
Secara geografis, kabupaten Banyumas dan Cilacap termasuk wilayah Propinsi Jawa
Tengah bagian selatan yang sering disebut “daerah merah”. 1 Istilah daerah merah
memberi makna bahwa komunitas di kawasan ini merupakan komunitas yang sangat
kental dengan tradisi Jawa, yang diadopsi dari tradisi kerajaan Hindu-Budha, yang
penuh dengan mitologi yang bersumber dari keyakinan animisme dan dinamisme.2
Kekentalan tradisi masyarakat Jawa bagian selatan, khususnya Kabupaten
Banyumas dan Cilacap yang begitu kuat, menjadikan proses islamisasi di daerah ini
menampilkan corak dan langgam sistem keyakinan serta berbagai ekspresi keagamaan3
yang unik pula. Ketika Islam datang di daerah ini dan kemudian mengalami proses
dialog dengan budaya lokal Jawa, telah melahirkan model keberagaaman yang
1 Lihat http://student.ukdw.ac.id/~22012607/sejarah.html
2 John Pemberton, Jawa (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), pp. 368 – 380.
3 Ekspresi hidup keagamaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah terjemahan dari religious
life, terutama menyangkut perilaku dalam aktivitas ritual keagamaan.
‘sinkretis’ dengan menampilkan Islam yang berwatak dan bergaya Jawa, yang sering
disebut dengan Islam Abangan. Hal ini berbeda dengan watak Islam dari komunitas
Jawa Tengah bagian utara (pantura) yang dikenal sebagai Islam santri.4 Sinkretisme
Islam berkembang di Indonesia (khususnya Jawa) karena Islam yang datang di
Indonesia adalah Islam yang telah banyak terpengaruh oleh unsur-unsur mistik dari
Persia dan India yang mengandung unsur-unsur yang cocok dengan pandangan hidup
tradisional orang Jawa pada waktu itu.5
Proses dialog dan dialektika antara Islam dengan budaya lokal Jawa melahirkan
perpaduan tata nilai Islam dan budaya Jawa dengan menampilkan dua model
keagamaan, yaitu:
1) Islam Jawa sinkretis yang merupakan perpaduan antara unsur Hindu-Budha dengan
Islam.
2) Islam puritan atau model kegamaan yang mengikuti ajaran agama secara ketat.
Salah satu produk dialog antara Islam dengan budaya lokal Jawa di Jawa Tengah
bagian Selatan adalah adanya komunitas Islam Blangkon yang hingga sekarang
eksistensinya masih kuat di desa Pekuncen, Kec. Jatilawang, Kab. Banyumas dan di
Kec. Adipala dan Kroya Kab. Cilacap. Kabupaten Banyumas dan Cilacap merupakan
dua kabupaten yang dulu masuk dalam wilayah eks karesidenan Banyumas. Secara
geografis, posisi Kec. Jatilawang, Adipala dan Kroya merupakan daerah kecamatan
yang jauh dari ibukota kabupaten Banyumas maupun Cilacap.
Berdasarkan hasil observasi pendahuluan di lapangan dengan memanfaatkan salah
seorang informan kunci yang bernama Ki Wiryatpada dan beberapa informan lainnya,6
ditemukan fakta bahwa hampir 95% penduduk desa Pekuncen Jatilawang adalah
penganut aliran kejawen.7 Tokoh leluhur yang menjadi panutan dan tempat mereka
meminta sesuatu adalah Kyai Bonokeling, yang makamnya menjadi sentral kegiatan
ketika ritual Nyadran dilaksanakan.8 Aktivitas ritual lain adalah kegiatan slametan yang
4 Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: Chicago University Press, 1976), p. 14.
5 Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa, Perpaduanya dengan Islam (Yogyakarta:
Aditya Media, 1995), p. 265.
6 Studi pendahuluan pertama dilaksanakan pada 14 Maret 2006 di desa Pekuncen, Jatilawang,
Banyumas.
7 Hasil wawancara dengan Ki Wiryatpada, Wakil Juru Kunci. Data ini kami crosscheck melalui
Bapak Arlam, imam masjid setempat. Di desa ini ada satu masjid dan satu mushalla, tetapi keberadaannya
tidak lebih dari simbol Islam santri. Menurut hasil wawancara dengan Bapak Arlam, jamaah yang ada hanya
sekitar 5% dari penduduk desa ini.
8 Makam Kyai Bonokeling dibangun sedemikian rupa dengan bangunan yang cukup besar yang
terletak di pinggir desa Pekuncen yang oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas dijadikan salah satu
situs cagar budaya.
biasanya dilaksanakan pada setiap Jemuah Pon yang dilaksaankan di sebuah tempat
yang bernama Pasemuan.9
Menurut penuturan Ki Wiryatpada 10 sistem rekruitmen keanggotanya bersifat
kekerabatan yang dibaiat sejak masih kanak-kanak oleh salah satu dari Kyai Kunci.
Model kepemimpinan kelompok Islam Kejawen ini bersifat turun temurun atas dasar
kekerabatan. Sedangkan struktur kepemimpinan kelompok ini mengikuti model
kepemimpinan struktur lurah (kepala desa) jaman dulu. Dalam hal relasi sosial antara
kelompok ini dengan kelompok luar selama ini terjalin secara baik dengan
mengedepankan sikap toleransi yang tinggi. Salah satu simbol identitas dari kelompok
ini dapat dilihat dari segi pakaian yang berbeda dengan masyarakat lainnya yang
biasanya dipakai ketika berlangsung aktivitas ritual. Pengikut laki-laki berpakai sarung
hitam dan jas/baju hitam dengan blangkon sebagai penutup kepala. Sedangkan para ibu
dengan menggunakan kebaya atau kemben model pakaian Jawa kuno.
Dengan mendasarkan pada potret aliran Islam Kejawen ini, maka banyak hal
penting yang perlu dikaji secara mendalam berkaitan dengan 1) sejarah dan jalur
geneologis aliran ini, 2) sistem keyakinan yang mereka anut, 3) karakteristik ekspresi
keagamaan yang penuh bahasa simbolik, 4) jaringan penganut kelompok ini, dan 5)
mengungkap karakteristik relasi sosial baik inter maupun antar anggota aliran ini.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian etnografi, yang di dalamnya mempelajari
peristiwa kultural, yang menyajikan pandangan hidup (point of view), keyakinan, pola
interaksi, makna physical setting, dan kegiatan ritual subjek penelitian. Dalam
penelitian ini, akan dideskripsikan tentang filosofi dan cara berfikir, cara hidup,
berprilaku yang berkaitan dengan fokus penelitian, yakni Islam Blangkon di Kab.
Banyumas dan Cilacap. Penelitian ini dilakukan di Desa Pekuncen Kecamatan
Jatilawang Kabupaten Banyumas dan Desa Srandil Kecamatan Adipala Kabupaten
Cilacap. Dua daerah ini dipilih karena sebagian besar (95 %) penduduknya menganut
“Islam Blangkon”. Dikatakan demikian karena blangkon merupakan identitas resmi
penganut ajaran ini, selain pakaian yang di dominasi warna hitam yang menjadi ciri
khas penganut ajaran ini. Adapun subjek penelitianya adalah tokoh penganut
kepercayaan ini seperti Kyai Kunci, para Wakil Kyai Kunci, dan masyarakat awam
(anak putu) dari penganut Islam Kejawen ini.
Penetapan sumber informasi yang digunakan adalah creation based selection
(seleksi berdasarkan kriteria). Artinya, teknik penetapan infroman tidak dilakukan atas
9 Pasemuan adalah sebuah bangunan besar seperti rumah yang terbuat dari bambu dan atapnya dari
seng. Disain tempat duduk di Pasemuan berupa dipan-dipan yang panjang dan lebar. Peserta pasemuan dalam
selamatan adalah para kaum laki-laki dengan duduk bersila yang acaranya dipimpin oleh seorang kyai kunci
yang bernama Mejasari dan didampingi oleh seluruh wakil kyai kunci.
10 Hasil wawancara dengan Ki Wiryatpada pada tanggal 17 Maret 2006, jam 11.00 WIB.
prinsip acak berdasarkan probabilitas. Adapun teknik penentuan informan adalah
dengan menggunakan seleksi jaringan, seleksi kuota dan seleksi berdasarkan komparasi
antar beberapa kasus. Adapun metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Observasi Terlibat (Participant Observation),
2) Adapun Wawancara bebas dan mendalam (indept interview) dan 3) Studi
Dokumentasi, digunakan untuk memperoleh data-data pendukung seperti nama-nama
anggota, tingkat keterlibatan dalam upacara-upacara, dan dokumen-dokumen penting
lain yang mendukung penelitian ini.
B. Komunitas Islam Blangkon
1. Sejarah Geneologis
Desa Pekuncen merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Jatilawang
Kabupaten Banyumas. Pada umumnya, mata pencaharian masyarakat Pekuncen adalah
Petani dan buruh tani. Mayoritas penduduk desa ini beragama Islam dengan model
keberagamaan yang unik dan berbeda dengan masyarakat muslim pada umumnya. Di
desa ini terdapat sebuah kelompok masyarakat yang mengaku sebagai muslim yang
kental dengan tradisi ‘kejawen’. Masyarakat desa ini menyebutnya dengan kelompok
adat.
Nama Pekuncen sebagai sebuah nama desa diambil dari kata sucen berarti suci.
Yang dimaksud di sini sebagai tempat pensucian dalam bentuk semedi oleh Kyai
Bonokeling sebagai tokoh leluhur orang yang pertama membuka lahan pertanian desa
Pekuncen. Dengan demikian nama Pekuncen dimaksudkan untuk mensucikan jiwa.
Daerah Pekuncen ini awalnya tempat yang sangat sepi, dan kering yang sangat layak
dijadikan tempat bertapa dalam rangka mensucikan jiwa. Karena itu, dahulu, warga
Pekuncen dan sekitarnya tidak diperbolehkan nanggap Wayang dan Lengger dengan
maksud menjauhkan diri dari ”mo limo” atau maksiat. Namun sekarang larangan seperti
itu sudah dilanggar oleh masyarakat. Fenomena ini, sebagaimana yang dikatakan oleh
Sumitro diistilahkan dengan ungkapannya, "Wong Jawa kuwi jawal".11
Komunitas Islam kejawen ini menurut beberapa sumber12 bermula dari ajaran yang
dibawa oleh seorang tokoh yang kemudian oleh para pengikut aliran ini disebut dengan
Kyai Bonokeling. Kyai Bonokeling konon berasal dari daerah sekitar Purwokerto
11 Orang Jawa itu cenderung suka melanggar aturan. Wawancara dengan Sumitro, 26 Agustus 2007.
12 Wawancara dengan Bapak Sumitro, Marta Reja, Ranu Wireja, dan Kyai Nayaleksana, 6
September 2007.
tepatnya dari Pasir Luhur. Daerah Pasir Luhur menurut cerita merupakan bekas
kekuasaan kerajaan Pajajaran. Tidak diketahui secara pasti kepindahan Kyai
Bonokeling ke daerah Pekuncen Jatilawang. Yang jelas berdasarkan penuturan
beberapa narasumber, bahwa keberadaan Kyai Bonokeling adalah dalam rangka among
tani yaitu babad alas untuk kepentingan membuka lahan pertanian baru di daerah
tersebut. Kehadiran Kyai Bonokeling di Pekuncen di samping membuka lahan
pertanian juga menyebarkan keyakinan agama Islam dengan mengakomodasi berbagai
tata nilai budaya lokal. Salah satu karakteristik yang menonjol dari tradisi yang ia
kembangkan adalah tradisi selametan untuk berbagai kepentingan.
Kyai Bonokeling mempunyai seorang isteri bernama mbah Kuripan. Dari hasil
perkawinanya melahirkan empat orang anak Dewi Pertimah bertempat tinggal di
Tinggarwangi, Gandabumi tinggal di Pungla, Danapada yang menetap di Pekuncen dan
satu lagi di Adiraja. Dari keturunan Danapada lahir tiga orang anak yaitu dua anak lakilaki
Danatruna dan Capada serta seorang anak perempuan yang bernama Cakrapada.
Cakrapada mempunyai seorang suami yang berasal dari daerah yang bernama Selastri
yang kemudian suami Cakrapada tersebut dikenal dengan Kyai Cakrapada. Estafet
kepemimpinan Kyai Bonokeling diteruskan oleh Cakrapada yang kemudian dikenal
dengan sebutan Ni Cakrapada sebagai Kyai Kunci pertama dari aliran ini.
Sampai saat ini jumlah Kyai Kunci yang menjadi pemimpin komunitas aliran ini
sudah mencapai pada generasi Kyai Kunci yang ke 13.13 Berikut tata urutan ketigabelas
Kyai Kunci, yaitu, Ni Cakrapada, Kyai Sokacandra, Kyai Candrasari, Kyai
Raksacandra, Kyai Tirtasari, Kyai Prayabangsa, Kyai Padasari, Kyai Prayasari Kyai
Singapada, Kyai Jayadimulya, Kyai Arsapada, Kyai Karyasari, Kyai Mejasari.
2. Sistem Keyakinan
Pandangan keagamaan komunitas Islam Blangkon sangat kental dengan tradisi
agama orang Jawa. Sistem keyakinan mereka sangat jelas tergambar dari penuturan
salah seorang tokoh (kesepuhan) aliran ini yakni bapak Mulyareja yang menyatakan14,
"Menungsa urip teng dunya niku nek mboten nyantri nggih nyandi". Pernyataan ini
berarti bahwa, manusia hidup di alam dunia ini terbagi menjadi dua, yaitu “nyantri” dan
“nyandi”. Dua istilah ini digunakan untuk memilah antara kelompok yang notabene
muslim dengan pengamalan rukun Islamnya yang lima secara utuh yang sering mereka
sebut dengan Islam lima waktu dan kelompok muslim yang pengamalan rukun
13 Wawancara dengan Kyai Kunci Mejasari, 26 Agustus 2007, di rumahnya.
14 Wawancara dengan Bapak Sumitro dan Bapak Mulyareja, 23 Agustus 2007, di rumah Kyai
Mejasari.
Islamnya hanya tiga (syahadat, puasa dan zakat), tanpa melakukan shalat lima waktu.
Karena itu istilah “nyantri” sama dengan “Islam lima waktu”, sedangkan istilah
“nyandi” lebih identik dengan “Islam tanpa shalat lima waktu”. Nyandi berarti poros
keyakinanya mendasarkan pada Punden yaitu tempat-tempat suci. Tempat yang paling
dianggap suci adalah makam Kyai Bonokeling.
Seorang wakil Kyai Kunci, Wiryatpada menuturkan, "Kula niki nggih Islam, sanes
Hindu sanes Budha". Ia percaya akan adanya Gusti Allah15 sebagai Tuhan, tempat
dimana manusia meminta pertolongan. Ia juga percaya dengan Muhammad sebagai
Nabi dan rasul Allah. Dengan jelas ia melafazkan shalawat Nabi Allahumma Shalli ala
sayyidina Muhammadin wa ‘ala ali sayyidina Muhammadin.16 Semua ummat Islam
hakikatnya bergerak pada tujuan dan muara yang sama yaitu mencapai kebenaran
hakiki yaitu kebenaran yang hanya milik Allah. Perbedaan dalam beribadah tidak lebih
perbedaan dalam hal cara mencapai tujuan. Dalam beribadah seseorang perlu perantara
antara lain dengan menyalakan dupa dan kemudian diberi pengantar do'a oleh Kyai
Kunci/wakil Kyai Kunci agar dapat dikabul oleh Yang Maha Kuasa.
Syahadat atau “sadat” menurut lisan komunitas muslim kejawen hanya diucapkan
pada saat melakukan perkawinan di depan pengulu (Petugas Pencatat Perkawinan dari
Kantor Urusan Agama/KUA). Adapun puasa, sebagaimana puasa yang dilakukan
kelompok “santri” mereka lakukan pada bulan Ramadhan dengan mengikuti aturan
waktu sebagaimana yang ditentukan oleh pemerintah. Namun demikian, sebagian para
kesepuhan aliran ini masih mempercayai puasa sirrih yaitu “ne srengenge lingsir lan
wetenge kerasa perih” (kalau matahari sudah tergelincir dan perut terasa perih) maka
ketika itu boleh berbuka puasa.17
Menurut Kuswadi,18 dalam hidup di dunia ini ”sing penting urip golek selamet,
carane aja mlanggar angger-angger/aturan-aturan” artinya, yang penting dalam hidup
ini adalah mencari selamat dengan cara tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran.
Dalam hidup ini, masih menurut Kuswadi, yang penting selametan. Yang dimaksud
selametan di sini adalah memberikan persembahan (berupa tumpeng atau ambeng dan
dupa), kepada leluhurnya yang dipercayai bisa memberikan manfaat dan marabahaya
dalam hidupnya. Dia mengatakan,”Asal munggah wonten panembahan nggih selametan
15 Kata ini diucapkan dalam pengucapan bahasa Jawa menggunakan vocal a.
16 Saya ini Islam, bukan Hindu bukan Budha, wawancara dengan Bedogol Wiryatpada, 14 Maret
2006, di komplek makam Kyai Bonokeling, pada saat acara rikat (bersih-bersih) kubur dalam rangka
persiapan Perlon (selamatan).
17 Ibid.
18Setiap kali menghadap panembahan (leluhur) harus slametan. Doanya pakai do’a apa saja, ketika
membaca do’a selamet harus memberikan “caosan” untuk panembahan. Anak putu memberikan sesuatu
(munjung) dengan maksud, misalnya agar sakitnya diberikan kesembuhan, wawancara dengan Kuswadi, 27
Agustus 2007, di rumah Ranu Wirja.
Doa selametan punopo mawon, nggih doa selametan kedah caosi shodaqoh wonten
panembahan. Anak putu podo munjung misal kagem mantun anggenipun sakit” .
Menurut Sumitro,19 “Wong urip ning dunya iki kudu mados ilmu kangge akhirat lan
mados sangune gesang teng alam kelanggengan”. Artinya, seseorang hidup di dunia ini
harus mencari/menggali pengetahuan untuk hidup di akhirat dan mempersiapkan bekal
untuk hidup di alam yang kekal. Ibadahnya orang kejawen adalah slametan, misalnya:
Nyadran, saben omah paring caos dateng Kyai Bonokeling, Muludan yang
dilaksanakan di Adiraja dan selamatan lainnya. Menurut Istri Kyai Mejasari, “Wong
kejawen iku uripe boros, apa-apa slametan terus, tapi mergo adat kebiasaane leluhure
ya dilakoni bae amrih selamet, mila niku teng ngriki mboten wonten ingkang gadhah
omah gedong”.20
Menurut sebagian komunitas Kejawen, mereka juga meyakini adanya alam sesudah
alam nyata ini yaitu alam kelanggengan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Sumitro,
"Sak bakdane alam dunya niki wonten alam kelanggengan, selawase, tanpa umur.
Menawi tiyang sampaun teng alam kelanggengan niku ganti tatahan, nggih meniko
tata batin" (Setelah alam dunia ini ada alam baka, selama-lamanya tanpa usia.
Ketika seseorang telah berada di alam keabadian ia akan berganti menjadi dunia
ruh).21
Mengenai balasan amal di akhirat, Sumitro menjelaskan,
"Menawi manungsa teng alam padhang niki angger mlanggar aturan, nggih
besuk badhe tinemu piwales. Gampangipun, yen ora gelem dijiwit, ya aja
jiwit. Sebab tiyang gesang niki kedah ngangge planggeran, supaya ora
ngrusak pager ayu. Wonten mo limo sing kudu dienggo, lan mo limo sing kudu
ditinggalna (Ketika manusia hidup di dunia dan dia melakukan pelanggaran
maka besok akan mendapatkan balasan yang setimpal. Gampangnya, kalau
tidak mau dicubit ya jangan mencubit. Sebab manusia hidup ini harus
memakai aturan supaya tidak merusak tatanan kehidupan. Ada 5 (lima) M
yang harus dilakukan dan ada 5 (lima) M yang harus ditinggalkan)22.
Menurut Kyai Kunci Karta Wijaya dari Adiraja bahwa komunitas Kejawen
ini selain minta ke Gusti Allah (Alloh dibaca Alah) juga minta sesuatu ke Kyai
19 Wawancara dengan Bapak Sumitro, 27 Agustus 2007, di rumah Bapak Sumitro.
20 Orang Kejawan itu hidupnya boros, karena sering selamatan, namun karena ini adat kebiasaan
yang dilakukan para leluhur, maka kami lakukan demi mendapatkan keselamatan, karena itu di sini tidak ada
yang memiliki rumah gedung (mewah), Wawancara dengan Ni Mejasari, 26 Agustus 2007, di rumahnya.
21 Wawancara dengan Sumitro tanggal 26 Agustus 2007 di rumahnya.
22 Ibid.
Bonokeling. Ketika ditanya tentang keyakinannya ini beliau menjawab, "Riyin-riyin
tuduh seka tiyang sepuh kados niku (Ini ada sejak dulu kala sebagaimana dikatakan
oleh orang-orang tua)"23
3. Hirarki Kepemimpinan dan Jaringan Komunitas
Pemimpin tertinggi komunitas ini adalah Kyai Kunci yang merupakan pemimpin
spiritual komunitas yang harus mengayomi dan melestarikan adat istiadat dan nilai-nilai
kepercayaan. Kyai Kunci dipilih melalui musyawarah seluruh anggota komunitas (anak
putu24) setelah tujuh hari dari kematian Kyai Kunci sebelumnya. Dalam hal pemilihan
ini harus diketahui oleh kepala desa setempat. Adapun calon Kyai Kunci diambil dari
keluarga Kyai Kunci dari Turunan wali (garis laki-laki). baik jalur menyamping
maupun jalur bawah. Tempat pemilihan dilaksanakan di Balai malang yaitu sebuah
tempat pertemuan yang berada di sebelah Pasemuan.
Hal yang sama juga dilakukan ketika dalam proses pemilihan wakil Kyai Kunci
(Bedogol), yaitu dengan musyawarah seluruh anak putu dari Bedogol yang meninggal
dunia, hanya saja tidak usah diketahui oleh kepala desa tetapi cukup diketahui oleh
Kyai Kunci. Di Pekuncen terdapat satu orang Kyai Kunci dan lima orang wakil Kyai
Kunci yaitu:Kyai Wangsapada, Kyai Padawirja, Kyai Nayaleksana Kyai Wiryatpada,
Kyai Padawitana.
Sedangkan di Adiraja, mengenai struktur masyarakat, terdapat dua kyai kunci,
yaitu Kyai Kunci Pemerintah dijabat oleh Kyai Wirya Seja, dan Kyai Kunci Turunan
Tiyang Sepuh, yaitu Kyai Karta Wijaya. Di samping dua kyai kunci, ada juga 10 orang
bedogol.25 Dari 12 tokoh ini, dalam melaksanakan ritual selametan, terutama selain
selametan untuk unggah-unggahan, mereka terkelompok (bala-balanan menurut istilah
Kyai Kerta Wijaya) menjadi 4 kelompok.
Adapun kelompok pertama dipimpin Kyai Wirya Seja. Maksudnya Kyai Wirya
Seja yang mujudaken hajat, dengan anggota bedogol Arsa Candra dan Candra Wecana.
Kelompok kedua dipimpin oleh Kyai Karta Wijaya dengan anggota bedogol Candra
Sukarta, Maja Wijaya, dan Arjapada. Kelompok ketiga dipimpin oleh bedogol
Majaswangsa dengan anggota bedogol Wirya Candra, Padaswangsa, dan Martapada.
Sedangkan kelompok keempat hanya terdiri dari satu bedogol, yaitu Karta Miarja. Anak
23 Wawancara dengan Kyai Kunci Adiraja Karta Wijaya tanggal 24 Nopember 2007 di rumahnya.
24 Anak putu adalah anggota komunitas yang mengikatkan diri kepada Kyai Kunci atau wakil Kyai
Kunci berdasarkan jalur kekeluargaan.
25 Sepuluh orang bedogol tersebut adalah Arsa Candra, Candra Wecana, Candra Sukarta, Maja
Wijaya, Arjapada, Wirya Candra, Padaswangsa, Martapada, dan Karta Miarja.
putu dari masing-masing kelompok baik yang dipimpin oleh kyai kunci maupun
bedogol cukup melibatkan tokoh dari kelompok masing-masing beserta anak putunya.26
Tugas pokok wakil Kyai Kunci adalah membantu tugas-tugas Kyai Kunci
khususnya yang berhubungan dengan pelaksanaan berbagai acara ritual maupun
berhubungan dengan anggota kelompok di luar Pekuncen (manca kabupaten). Kyai
Kunci beserta lima wakil Kyai Kunci (Bedogol) adalah kelompok kesepuhan.
Struktur di bawah Bedogol adalah Manggul atau Patih yang merupakan pembantu
dari Kyai Kunci/Bedogol. Masih pada level Manggul ada struktur lain yang berada
diluar jalur struktural Kyai Kunci yaitu Tunggu Balai. Kyai Kunci dan lima Bedogol,
masing-masing dibantu oleh seorang Manggul. Selain Penunggu Balai, semua pejabat
di atas mempunyai hak untuk dipilih sebagai Kyai Kunci.
Struktur di bawah Manggul adalah Tukang Mondong dan pengiring, yang
bertugas untuk mendampingi kesepuhan dalam tugas-tugasnya sebagai pemimpin
spiritual. Adapun struktur di bawah mondong dan pengiring, secara berurutan adalah
tukang gelar klasa, solor/juru perintah, tundagan putri, tukang beras, tukang carik,
tukang masak, tukang wedang, tukang masak balai malang dan onder/kordinator
lapangan.
Semua Jabatan di bawah manggul, proses pengangkatannya melalui proses
‘penunjukan’ oleh kyai/wakil Kyai Kunci dengan disaksikan oleh anak putu masingmasing
Kyai Kunci/Bedogol. Sedangkan tempat pelaksanaan penggantian di rumah
masing-masing Kyai Kunci/Bedogol.
Kelompok masyarakat Islam Blangkon di Pekuncen Jatilawang Banyumas
memiliki jaringan yang luas dengan kelompok yang sama di Kecamatan Adipala dan
Kroya Kabupaten Cilacap. Komunitas Islam Blangkon di Pekuncen merupakan
pusatnya dan komunitas Islam Blangkon Cilacap merupakan cabangnya. Daerah
Pekuncen disebut dengan daerah Sukuraja sedangkan daerah jaringan di luar Pekuncen
yaitu Cilacap disebut dengan Manca Kabupaten. Adapun system pengembangan
jaringan menggunakan system kekerabatan.
4. Ekspresi Keberagamaan dalam bentuk Ragam Ritual
Berbagai kegiatan ritual pada umumnya berisi acara doa selamatan yang isi do’anya
disesuaikan dengan keperluan. Hampir tiap bulanya terdapat kegiatan ritual yang
bersifat rutin.Berikut ini beberapa kegiatan selamatan/kepungan yang selalu dilakukan
secara berulang-ulang.27
26 Wawancara dengan Kyai Kunci Adiraja Karta Wijaya tanggal 24 Nopember 2007 di rumahnya.
27 Ibid
a. Ritual Berdasarkan Bulan
1) Bulan Sura.
NAMA
RITUAL
PROSESI
Puji-Pujian
Tempat Pelaksanaan: di Pasemuan Hari : Pada Jumat ke 1 atau 2
atau Jumat Manis, Kliwon, Pon, Kliwon terakhir
Jenis sesaji: Rakan Wedang
Jam : 23.00 – 03.00 WIB
Prosesi:
- Masakan dari anak putu yang dikumpulkan di Bedogol masingmasing
kemudian dibawa ke Kyai Kunci
- Caos bhekti
- Mujudaken oleh Kyai Kunci atau wakil
- Lagu muji 7 gendok
- Istitahat dengan Rakan wedang
2) Bulan Sapar.
1. Perlon Rikat
(Resik
Panembahan)
Tempat Rikat : Di Kubur Ki Bono Keling
Tempat Sesaji : Di Pasemuan
Sesaji biasanya sembelihan, kalau tidak ada sembelihan sesaji dengan
menggunakan tumpeng
Hari : Jumat kedua bulan Sapar
Prosesi:
- Dimulai malam jumat kumpul-kumpul anak putu persiapan di
Bedogol masing-masing.
- Muji biasanya dimulai jam 23.00 – 24.00
- Jumat Pagi, Acara Rikat dimulai jam 08.00 – 11.00.
- Dilanjutkan ke pasemuan yang telah tersedia sesaji (sembelihan
atau tumpeng)
- Mujudaken oleh Kyai Kunci
- Doa Rikat
- Mbabar
- Wangsul
Acara ini juga dihadiri oleh anak-putu dari Sukuraja.
Aturan rikat dimulai dari kubur panembahan terus temurun ngisor
2. Rakan kalau ada Hari Senin Paing
3) Bulan Mulud.
1. Ziarah Ke
Adiraja
Prosesi:
- Jalan kaki ke Adiraja dimulai jam 07.00 an
- Pethug (dipapag atau dijemput di Maos oleh Tuan Rumah yakni
anak putu di Adiraja tepatnya di Pasar Krikil)
- Sesuci di Pasucen
- Ziarah ke Kendran (Ngumpul doa sawab, seperti doa kubur)
- Datang ke Pasemuan
- Mujudaken di Pasemuan
- Donga Sawab yang dipimpin oleh Pak Kayim
- Mbabar (syukuran dan makan-makan)
- Selesai dan istirahat, diisi dengan ngendong anak sedulur
2. Bada Mulud
(Muludan)
Waktu: Tanggal 12 Mulud
Prosesi:
- Rikat di Panembahan
- Kumpul di Kelurahan Pekuncen sembari membawa makanan
sepikul segendongan (yang digendong nasi dan sayur becek)
- Mujudaken
- Donga Kubur
- Mbabar
- Wangsul
Acara ini wajib dihadiri oleh 1 Kyai Kunci dan 5 Bedogol.
3. Puji-Pujian
Tempat Pelaksanaan: di Pasemuan
Hari : Pada Jumat ke 1 atau 2 atau Jumat Manis, Kliwon, Pon,
Kliwon terakhir
Jenis sesaji: Rakan Wedang
Jam : 23.00 – 03.00 WIB
Prosesi:
- Masakan dari anak putu yang dikumpulkan di Bedogol masingmasing
kemudian dibawa ke Kyai Kunci
- Caos bhekti
- Mujudaken oleh Kyai Kunci atau wakil
- Lagu muji 7 gendok
- Istitahat dengan Rakan wedang
4. Kupatan Hari : Senin Paing
dengan
menggunakan
Kupat Slamet
Prosesi:
- Kumpul-kumpul anak putu di Bedogol masing-masing dimulai
jam 07.00
- Kemudian makanan berupa kupat dibawa ke bale malang.
- Acara dilaksanakan di bale malang jika hujan, kalau tidak hujan
dilaksanakan di mundu
- Mujudaken
- Donga Slamet
- Mbabar
- Wangsul, biasanya jam 12.00 WIB
4. Rakan Malam Selasa Kliwon
Kegiatan dimulai sejak jam 15.00 dan selesai biasanya jam 18.00
4. Madil Awal, kosong tidak boleh ada kegiatan.
5. Madil Akhir
1. Kupatan Hari : Senin Paing
Prosesi:
- Kumpul-kumpul anak putu di Bedogol masing-masing dimulai
jam 07.00
- Kemudian makanan berupa kupat dibawa ke bale malang.
- Acara dilaksanakan di bale malang jika hujan, kalau tidak hujan
dilaksanakan di mundu
- Mujudaken
- Donga Slamet
- Mbabar
- Wangsul, biasanya jam 12.00 WIB
2. Rakan Hari: Selasa Kliwon
6. Rejeb
1. Medi
Yaitu: mengangkut pasir dari sungai ke Kubur Panembahan disebar
hingga Mundu termasuk di halaman Bedogol, dan Bale Malang
dengan gandeg (pikulan) dan grabag.
Prosesi:
- Angkut-angkut jam 07.00 – 12.00 WIB
- Nyamikan (camilan) bawa sendiri-sendiri dalam bentuk rakan
dibawa Bedogol masing-masing.
- Mujudaken medi kali anak putu
- Donga Slamet
- Mbabar
- Wangsul
Acara nyebar wedi ini dimaksudkan sebagai persiapan untuk acara
sadran biar tidak becek
2. Eyang-eyang
(Resik-Resik
Kubur lelulur
sesuai dengan
silsilah Bedogol
masing-masing)
Hari: Kamis ke tiga Bulan Rejeb
Acara dimulai 2 hingga 3 hari sebelum kamis ke 3 dimaksud
Prosesi:
- Pasang Pager (Pagar) Kubur
- Tumpeng dibabarake di masing-masing Bedogol.
- Mujudaken
- Donga Kubur
- Mbabar
- Wangsul biasanya 11.00
3. Resik-Resik
Kubur Umum
Hari: Kamis ke 4
Prosesi:
- Resik-resik kubur
- Tumpeng-tumpeng di setiap Bedogol dibawa ke bale malang
- Mujudaken oleh Kyai Kunci
- Donga Kubur
- Mbabar
- Wangsul, biasa pulang jam 12.00
4. Ziarah ke
Kuripan dengan
Jalan Kaki
Prosesi:
- Bedogol-Bedogol berkumpul di rumah Ki Nayaleksana
- Peserta ziarah dipimpin oleh Ki Nayaleksana
- Ziarah dimulai pukul 05.00 WIB, biasanya peserta mencapai 50
hingga 80 orang.
- Bersamaan dengan ziarah ke kuripan, anak putu lain menyiapkan
tumpeng.
- Tumpeng didibawa ke Kuripan
- Mujudaken tumpeng menunggu kepulangan peserta ziarah dan Ki
Nayaleksana
- Donga Kubur dipimpin oleh Ki Nayaleksana
- Mbabar
- Wangsul, biasanya jam 18.00 WIB
7. Bulan Ruwah.
Unggahunggahan
Sudah dicacat (terdahulu)
8. Bulan Pasa.
Likuran atau
Bada Likur
Waktu: Malem 21 Pasa
Tempat: di Rumah Pak Lurah
Prosesi:
- Rikat di Panembahan
- Kumpul di Kelurahan Pekuncen sembari membawa makanan
sepikul segendongan (yang digendong nasi dan sayur becek)
- Mujudaken
- Donga Kubur
- Mbabar
- Wangsul
Acara ini wajib dihadiri oleh 1 Kyai Kunci dan 5 Bedogol.
Sedangkan kehadiran anak putu bersifat sukarela.
9. Bulan Sawal
1. Riyaya Tanggal: 1 Syawal Tahun Aboge
Prosesi:
- Sekitar jam 07.00 WIB dimulai dengan rikat
- Kumpul-kumpul di setiap Bedogol menuju ke Kyai Kunci
- Rombongan menuju ke kelurahan
- Salam-salaman ke Kyai Kunci, dan Bedogol dengan cara ngesod.
- Mujudaken
- Donga Kubur
- Mbabar
- Wangsul
2. Turunan Pelaksanaan pada hari Jumat ke 2 bulan syawal
- Dimulai hari Rebo, dengan acara persiapan seperti memet
godhong
- Hari Kamisnya dilanjutkan dengan rikat
- Neduh atau Muji biasanya hingga jam 24.00
- Sowan ke Panembahan termasuk ndandani gethek yang rusak
- Masak-masak
- Kumpul di Pasemuan
- Acara slametan dimulai dengan mujudaken
- Donga Kubur
- Mbabar
- Wangsul
10. Bulan Apit.
Sedekah Bumi Hari: Selasa Kliwon Bulan Apit
Prosesi:
Anak putu masak sendiri-sendiri di rumah masing-masing
- Masakah dibawa ke Kelurahan, dimulai dari jam 09.00 WIB
- Seluruh Bedogol dan Kyai Kunci wajib datang pada acara ini.
- Acara dipimpin oleh Kyai Kunci
- Mujudaken dengan cara berdiri
- Donga Kubur
- Mendhem (menanam) sesaji di pertigaan timur Pekuncen, jenis
sesaji yang dikubur adalah nasi, lauk pauk, dan kepala sembelihan
yang terbesar dengan dibalut kain putih dan kemenyan. Acara
dipimpin oleh Kyai Kunci
- Mbabar atau kepungan
- Ponthong-ponthongan atau sawuran atau balang-balangan.
Lempar-lemparan nasi
- Wangsul (pulang)
- Ruwat bumi (tidak wajib) dengan acara tunggal wayangan.
11. Bulan Besar.
1. Perlon Rikat Tempat Rikat : Di Kubur Ki Bono Keling
Tempat Sesaji : Di Pasemuan
Sesaji biasanya sembelihan, kalau tidak ada sembelihan sesaji dengan
menggunakan tumpeng
Hari : Jumat kedua bulan Besar
Prosesi:
- Dimulai malam jumat kumpul-kumpul anak putu persiapan di
Bedogol masing-masing.
- Muji biasanya dimulai jam 23.00 – 24.00
- Jumat Pagi, Acara Rikat dimulai jam 08.00 – 11.00.
- Dilanjutkan ke pasemuan yang telah tersedia sesaji (sembelihan
atau tumpeng)
- Mujudaken oleh Kyai Kunci
- Doa Rikat
- Mbabar
- Wangsul
Acara ini juga dihadiri oleh anak-putu dari Sukuraja.
Aturan rikat dimulai dari kubur panembahan terus temurun ngisor
2. Besaran atau
Korban
Hari: Kamis Ketiga bulan Besar
Prosesi:
- Acara dimulai sejak Selasa, persiapan
- Rabunya kumpul-kumpul di Rumah Ki Wiryatpada
- Kamisnya memotong hewan korban, sowan, mujudaken, Donga
Kubur, Mbabar di Pasemuan
Acara dipimpin oleh Ki Wiryatpada, sedangkan hewan korban berasal
dari anak putu yang aweh.
b. Ritual Berdasarkan Siklus Kehidupan
Berbagai kegiatan ritual yang selalu dilakukan menjadi bagian dari tradisi
keagamaan masyarakat Islam Kejawen Pekuncen dapat dilihat dengan mendasarkan
pada siklus kehidupan manusia sejak manusia lahir, menikah, melahirkan
keturunan sampai ritual kematian.
1. Setelah anak lahir, maka diadakan selamatan puput puser yaitu selamatan
memberi nama pada bayi dengan membuat bubur merah putih (abang – putih). Kata
‘abang’ berarti bakale biang (janin) sedangkan putih menggambarkan sperma yang
menggambarkan asal kejadian manusia yaitu pertemuan ovum dan sperma.
2. Setelah puputan dilaksanakan, maka acara ritual berikutnya adalah
selamatan ‘melebu’ yaitu selamatan dalam rangka mendaftarkan sang anak kepada
Kyai Kunci atau Bedogol untuk menjadi anggota kelompok yang kemudian disebut
‘anak putu’ dari Kyai Kunci/Bedogol. Acara selamatan mlebu harus dilaksanakan
pada hari Jum’at. Pada waktu selematan mlebu, sang anak dibawa di depan Kyai
Kunci/Bedogol untuk diberi doa keselamatan dan diwiridi.
3. Acara Sunatan/Khitan diadakan sebagaimana acara khitanan anak-anak pada
umumnya. Ada acara resepsi khitanan dengan mengundang tetangga dan
masyarakat sekitar dengan memberi sumbangan seikhlasnya kepada orang tua yang
mengkhitankan anaknya.
4. Acara Nikahan/Membaca kalimat syahadat. Sebagaimana pada umumnya,
perkawinan itu diawali dengan acara lamaran. Seorang laki-laki bersama orang
tuanya atau yang mewakili melamar ke keluarga perempuan. Sesudah itu pihak
keluarga laki-laki dan perempuan bersepakat untuk menghitung weton (hari
kelahiran beserta rangkepannya) calon mempelai berdua.
5. Selamatan Keba yaitu selamatan dalam rangka kehamilan yaitu ketika usia
kehamilan telah berusia 7 bulan tanggal ke 27. Hitungan ini harus pas tidak kurang
tidak lebih dengan mendasarkan pada perhitungan kalender Jawa. Dalam pandangan
mereka usia kehamilan 7 bulan kondisi bayi sudah ada sukmanya. Usia 7 bulan
adalah usia kehamilan tua, usia 8 bulan adalah usia kehamilan muda (enom) dan
usia 9 bulan lahir. Sedangkan angka 27 merupakan angka batas akhir dalam
penghitungan kalender Jawa.
6. Acara selamatan dalam rangka kematian
7. Setiap ada kematian warga aliran ini, maka seluruh komunitas ini secara
bergotong-royong mempersiapkan upacara pemakaman dan berbagai hal yang
berkaitan dengan peralatan penguburan. Kegiatan selamtan kematian ini mengikuti
tradisi hitungan tertentu yaitu selamatan Pada hari ke 3, 7, 40, 100, dan 1000 setelah
kematian juga dilakukan acara selamatan/sedekahan dengan mendo’akan kepada si
mayit agar jembar keburane (luas kuburanya) dan leres lampahane (lurus jalannya)
menjalani kehidupan dialam kubur dengan memohon kepada pangerang kang Maha
Kuasa. Acara ini dikenal dengan acara dzikiran atau muji.
Adapun makna dari bilangan-bilangan tersebut adalah sebagai berikut:
• Hari ketiga adalah masa menyempurnakan bulu kuku (wulu kuku).
• Hari ketujuh adalah masa meyempurnakan daging.
• Hari keempat puluh adalah masa menyempurnakan otot.
• Hari keseratus adalah masa menyempurnakan tulang.
• Hari keseribu adalah masa menyempurnakan sumsum.
c. Ritual Umum
1) Selamatan Masa Tanam. Selamatan masa tanam atau miwiti
dilakukan dengan tujuan agar tanaman yang akan mereka tanam nantinya
menghasilkan panenan yang banyak. Pemilik sawah/ ladang melakukan
selamatan dengan membawa tumpeng di Kyai Kunci/Bedogol. Selain itu
pemilik tanah juga menaruh sesaji di sawah atau ladang yang sudah siap
ditanami. Adapun bentuk sesajinya adalah menyan, dupa yang dibakar dan
beberapa jajan pasar. Sebagai tanda tempat sesaji itu ditancapkan tangkai
kayu atau bambu belah yang sudah lama dipakai. Tujuan sesaji dan
selamatan tersebut adalah minta kepada "Dewi Sri sing mbahureksa
tetanduran" (Dewi Sri yang melindungi tanaman) untuk menyampaikan
keinginan kepada Yang Maha Kuasa. Posisi Dewi Sri dalam hal ini sebagai
perantara antara manusia dengan Yang Maha Kuasa.
2) Selamatan masa panen sebagai wujud rasa syukur dilakukan setelah
masa panen selesai dengan harapan selamatan ini agar pada masa tanam
yang akan datang bisa menghasilkan hasil tanaman yang lebih baik.
3) Selamatan Rasulan yaitu selamatan dalam rangka pindah atau
menempati rumah baru agar rumah yang ditempati bisa mendatangkan
keberkahan dan keselamatan penghuninya.
4) Muludan. Perlon Unggah-unggahan Muludan biasanya dilakukan
pada bulan Maulid/Rabi’ul Awwal, setiap tahun yang jatuh pada hari Jum’at
Pon (sesuai perhitungan kasepuhan) di pesamuan Adiraja Kabupaten
Cilacap yang sebelumnya (Kamis Pahing) dilakukan sowan di padepokan
Kendran. Yang bertindak selaku tuan rumah acara ini adalah Kyai
Kunci/Bedogol dan anak putu yang bertempat tinggal di Adiraja. Sedangkan
anak putu dan Kyai Kunci/Bedogol yang lainnya sebagai tamu dengan
membawa makanan matang maupun hasil bumi yang masih mentah dengan
maksud membantu tuan rumah dalam mempersiapkan Perlon.
5) Ritual Nyadran. Nyadran merupakan ritual tahunan yang
dilaksanakan pada Bulan Ruwah yang pelaksanaannya bertempat di
komplek makam Kyai Bonokeling Pekuncen Jatilawang. Dalam komunitas
Islam Kejawen, ritual Nyadran merupakan ritual yang paling besar di
samping ritual Unggah-unggahan dalam rangka Muludan yang bertempat di
Adiraja Cialacap. Acara ritual Nyadran diikuti oleh seluruh pengikut aliran
ini yang tersebar di dua kabupaten yaitu Banyumas dan Cilacap. Sebagai
tuan rumah pelaksanaan ritual Nyadran, Kyai Kunci di Pekuncen (Kyai
Mejasari) merupakan penanggungjawab pada acara ini. Ia adalah tokoh
spiritual yang mempunyai otoritas religius untuk memimpin dan mengatur
jalannya acara ini. Perlon Nyadran (Unggah-unggahan) dilaksanakan pada
setiap hari Kamis Manis – Jum’at Pahing bulan Ruwah (Sya’ban).
6) Ritual Turunan. Acara Ritual Turunan merupakan tindak lanjut dari
Ritual Unggah-unggahan. Acara ini yang dilaksanakan pada bulan Sadran
yang kemudian sering dikenal ritual Nyadran. Kata Turunan berasal dari
kata turun (medun) yang berarti menurunkan, kebalikan dari kata Unggahunggahan
yang berarti menaikkan. Unggah-unggahan sebagai perlambang
tanam atau menanam yaitu dimulainya menanam kebaikan atau pahala
(kesaenan). Sedangkan turunan merupakan perlambang bahwa setelah
menanam pahala dengan melakukan ibadah pada bulan puasa, maka pada
bulan Syawal ini dilaksanakan acara Turunan yang dimaksudkan sebagai
panen (ngunduh) pahala dari Yang Maha Kuasa. Diharapkan melalui acara
ini setiap orang yang melakukan ibadah puasa memperoleh kesucian (fitrah)
yaitu suci dari dosa dengan saling memaafkan (nglebaraken dosa).
5. Relasi Sosial
Dalam konteks relasi sosial antar anggota kelompok komunitas Blangkon adat
atau antar kelompok adat dengan masyarakat lainya (muslim masjid) berjalan secara
baik dengan hidup guyub dan rukun. Baik menurut Wiryatpada maupun Arlam, belum
pernah terjadi gesekan atau konflik yang bersifat fisik antar warga masyarakat yang
dipicu oleh perbedaan paham ini. Bahkan menurut Wiryatpada, kalupun ada tarikan
sumbangan pembangunan masjid anggota masayrakat yang berasal dari kelompok
Kejawen juga memberikan sumbangan untuk pembangunan masjid. Namun demikian,
menurut Arlam terdapat sentimen yang bersifat laten dan di bawah permukaan
seringkali kelompok adat (Kejawen) memandang kurang simpatik terhadap aktivitas
keagamaan terutama terhadap anak-anak mereka. Tidak jarang orang tua dari kelompok
adat melarang anaknya untuk mengaji/shalat di masjid.28
Seorang Kayim desa Pekuncen dalam struktur sosial masyarakat Islam Jawa
sangat penting karena ia terlibat dalam beberapa moment ritual yang diselenggarakan
masyarakat Kejawen. Ketika kami mewawancarai di rumahya, dia menyebut kelompok
Islam yang ada dikampungnya sebagai Islam Kejawen (Kejawen). Dia sendiri
merupakan pendatang dari desa sebelah Pekuncen yaitu desa Gunung Wetan dan yang
asli desa Pekuncen adalah isterinya. Menurut penuturannya, dia awalnya bingung
bagaimana ia bisa beradaptasi dengan komunitas Islam Kejawen karena seperti yang ia
katakan bahwa ia adalah Islam yang melakukan shalat lima waktu. Namun demikian,
28 Wawancara dengan Arlam tokoh islam lima waktu tanggal 2 Nopember 2007 di rumahnya.
isteri pak Kayim masih mengikuti keyakinan Islam Kejawen dan itu tidak masalah,
karena masalah keyakinan adalah urusan pribadi.
Dalam melihat masyarakat Islam Kejawen di desa Pekuncen kelompok Islam lima
waktu berpandangan sebagaimana tergambar dalam pertnyataan bapak Arlam29 yang
berprinsip "Lakum dinukum wali yadin (bagimu agamamu, bagiku agamaku)". Masingmasing
mempunyai keyakinan, sehingga yang penting adalah sikap menghormati.
Memang pengikut aliran Kejawen ini mayoritas di Pekuncen ini. Menurut Arlam
sebagaimana pernyataannya:
”Saya sendiri orang yang sejak kecil tidak pernah ikut mereka sehingga saya tidak
tahu banyak tentang ajaran mereka. Secara aqidah mereka mengaku sebagai orang
Islam, percaya adanya Allah dan Muhammad Rasulullah, tetapi mereka tidak
melaksanakan syari'at Islam. Bahkan yang justeru dijunjung bahkan disembahsembah
adalah nenek moyang mereka yang sering disebut namanya Ki
Bonokeling. Secara aqidah mereka itu syirik”.30
Dalam pandangan Arlam berbagai acara ritual "selamatan" yang mereka adakan
hanya kumpul-kumpul saja, tidak ada pengarahan atau wejangan tentang ajaran agama,
bahkan justeru terjadi kemubadziran.
C. Simpulan
Komunitas Islam Kejawen bermula dari ajaran seorang tokoh yang kemudian
oleh para pengikut aliran ini disebut dengan Kyai Bonokeling. Kyai Bonokeling konon
berasal dari daerah sekitar Purwokerto tepatnya dari Pasir Luhur. Daerah Pasir Luhur
menurut cerita (sumber lisan) merupakan bekas kekuasaan kerajaan Pajajaran. Tidak
ketahui secara pasti sebab kepindahan Kyai Bonokeling ke daerah Pekuncen
Jatilawang. Salah satu karakteristik yang menonjol dari tradisi yang ia kembangkan
adalah tradisi selemetan untuk berbagai kepentingan. Pimpinan aliran ini disebuat
dengan Kyai Kunci. Sampai saat ini jumlah Kyai Kunci yang menjadi pemimpin
komunitas aliran ini sudah mencapai pada generasi kunci yang ke 13. Proses
transformasi ajaran dilakukan melalui tradisi lisan.
Pandangan keagamaan mereka secara jelas tergambar dari bangunan
keyakinannya yang membagi manusia dalam dua kategori bahwa manusia hidup di
alam dunia ini kalau tidak “nyantri” berarti “nyandi”. Istilah "nyantri" berarti
kelompok yang notabene muslim dengan pengamalan rukun Islamnya yang lima secara
29 Wawancara dengan Bapak Arlam pada tanggal 26 Oktober 2007.
30 Wawancara dengan Bapak Arlam pada tanggal 26 Oktober 2007.
utuh yang sering mereka sebut dengan Islam lima waktu. Sedangkan istilah “nyandi”
lebih identik dengan “Islam tanpa shalat lima waktu”. Nyandi berarti poros keyakinanya
mendasarkan pada Punden yaitu tempat-tempat suci. Tempat yang paling dianggap suci
adalah makam Kyai Bonokeling.
Ekspresi ritual yang menjadi ciri khas dari aliran Islam Kejawen adalah upacara
selamatan yang jumlah dan ragamnya sangat banyak sesuai dengan kebutuhan dan
momentum tertentu. Salah satu dimensi ritualitas kelompok Islam Kejawen yang
berbeda secara mendasar adalah tidak perlunya ibadah shalat sebagaimana shalatnya
muslim pada umumnya. Poros ritual yang mereka lakukan berpusat pada Makam dan
Pasemuan. Adapun makam yang disakralkan kelompok islam Kejawen adalah makam
Kyai Bonokeling yang diyakini sebagai tokoh sentral sebagai pembawa dan peletak
pondasi ajaran yang mereka anut.
Pusat Aliran islam Kejawen ini berada di desa Pekuncen Jatilawang Banyumas.
Namun demikian, jaringan aliran ini melebar ke daerah lain yaitu Kabupaten Cilacap
(Kecmatan Adipala dan Kroya). Komunitas aliran Islam Kejawen yang berada di desa
Pekuncen sebagai poros aliran disebut dengan daerah Sukuraja, sedangkan komunitas
aliran Islam Kejawen yang berada di sekitar Pekuncen disebut Tepis Miring. Adapun
komunitas aliran Islam Kejawen yang berada di luar kabupaten Banyumas disebut
dengan Manca Kabupaten. Pemilahan daerah ini menggambarkan alur jaringan
kelompok ini. Sistem pengembangan jaringan menggunakan jalur kekerabatan yang
keanggotaannya disebut dengan jaringan anak putu.
Secara hirarkhis, kepemimpinan aliran Islam Kejawen dipimpin oleh Kyai Kunci
dengan dibantu oleh beberapa Wakil Kyai Kunci atau Bedogol. Masing-masing Kyai
Kunci ataupun Bedogol mempunyai anggota sendiri-sendiri yang mereka sebut dengan
istilah anak putu. Model kepemimpinan aliran ini menggunakan sistem kepemimpinan
layaknya pemerintahan desa. Relasi sosial komunitas Islam kejawen dengan masyarakat
lainya berjalan secara alamiyah dengan mendasarkan pada tata nilai lokal masyarakat
desa pada umumnya dengan ciri masyarakat yang guyub dan rukun. Keyakinan agama
diposisikan sebagai hak yang dimiliki oleh setiap manusia dan ia bersifat pribadi.
Semangat hidup berdampingan (coexistence) menjadi nilai yang sudah melembaga.
DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Clifford, The Religion of Java (Chicago: Chicago University Press, 1976).
http://student.ukdw.ac.id/~22012607/sejarah.html
Partokusumo, Karkono Kamajaya, Kebudayaan Jawa, Perpaduanya dengan Islam (Yogyakarta: Aditya
Media, 1995).
Pemberton, John, Jawa (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003).

5 komentar:

Anonim mengatakan...

1.a.menjadikan kebudayaan asal kita menjadi mata pelajaran disekolah seperti ekskul,
b.dgn cara turun temurun yaitu mengajarkan kebudayan pd anak cucu kita dg cara yang tua mengajarkan ke pd yg muda,
c.mementaskan atau menampilkan kebudayan indonesia lebih sering dlm acara" tertentu.
2.a.kebudayaan adalah milik bersama masyarakat manusia
b.kebudayaan adalah hasil belajar
c.kebudayaan didasarkan pd simbol
d.semua aspek kebudayaan berfungsi sbg kesatuan yg saling berhubungan
e.kebudayaan bersifat superorganik.
3.kebiasaan atau tingkah laku yg aneh atau gila shingga org yg melihat merasa asing & aneh.
5.kebudayaan khusus yg berlawanan dg kebudayan induk.

Anonim mengatakan...

6.setrika listrik sbg tandingan
setrika zaman dulu yg menggunakan bara sbg pemanasnya.
7.karena lebih bermanfaat dan lebih efesien.

suryono mengatakan...

saya cuma pengembara dan musafir hina, berharap bisa sampai ke halaman rumah Tuhan

Anonim mengatakan...

pak aku kangen ki karo bapak....andhy kini telah menjadi consultan pak..makasih ya pak...padahal dulu waktu di11maret saya ga pinter ya pak

Anonim mengatakan...

alhmdulillah....berarti bpk/ibu guru 11 Maret sdh berhasil mndidik kmu mnjadi orang yg bermanfaat utk ummat...cerdas itu namanya 😀